Minggu, 27 April 2014

Sungai Weya (Weyauwo)



PILKADA DAN ADAT





PENGARUH NILAI-NILAI ADAT DALAM PILKADA DI PAPUA
                                  Oleh
                      JOHN NR GOBAI
               Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai/Sekretaris I Dewan Adat Papua


PENGANTAR                                                                                                                                              Beberapa bulan belakangan ini daerah pegunungan diramaikan dengan dengan adanya pesta PILKADA, banyak hal telah dan akan terjadi, kita bersama telah ketahui bahwa actor-aktor penting sebelum pesta pilkada adalah Partai Politik karena menentukan apakah seorang kandidat dapat mengikuti pesta PILKADA ataukah tidak, dalam istilah sehari-hari mereka yang ikut menyiapkan Perahu bagi seorang Calon Kandidat, apakah layak atau tidak, apakah memenuhi syarat prosentase lebih dari 15%, untuk dapat menjadi Calon Kepala Daerah atau kah tidak. Setelah itu barulah masyarakat yang akan memberikan suara.
              Didaerah Pegunungan Papua, Pilkada merupakan pesta yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, agar mereka dapat mengekspresikan kesenangannya dengan yuu, waita, menggunakan pakaian adat, koteka dan moge, membawa uka dan mapega. Dari kasat mata dapat diduga dari satu sisi, hal ini dilakukan dengan dasar pikiran yang lebih ke adat, karena semata-mata dilakukan karena mempunyai hubungan kekerabatan, karena berasal dari satu marga, daerah dan karena ikatan adat lainnya, seperti calon itu, pernah bantu saat dia menjadi kepala SKPD, pernah membantu menyelesaikan masalah, membantu taruh maskawin, tanpa melihat kemampuan orang, kinerjanya selama menjabat sebelum menjadi calon kepala daerah. Diduga  Pilkada diwarnai dengan  Nilai-nilai adat.

PARTAI POLITIK
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 163-164., meliputi sarana (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).  Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya percampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon  4, 3, 2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.

PILKADA DALAM ADAT
Dalam kehidupan lalu masyarakat mempunyai pemimpin yang dikenal dengan nama Tonowi atau Sonowi, mereka muncul orang yang menduduki strata sosial paling atas itu biasanya disebut sebagai pemimpin. Mereka memperoleh status Tonowi (dalam Suku Mee), Sonowi (dalam Suku Moni), Disebut Tonowi,Sonowi karena memiliki kekayaan yang berlimpah dan relasi sosial yang dibangun juga cukup luas. Kemudian seseorang disebut Tonowi atau Sonowi, bukan karena hanya memiliki kekayaan namun yang lebih penting juga adalah bijaksana dalam memutuskan perkara. Misalnya pengambilan keputusan atas persoalan anak kandungnya, apabila ia membela matian-matian  anaknya  telah terbukti bersalah berarti ia bukan Tonowi atau Sonowi Jadi pengambilan keputusan tertinggi berada pada seorang pemimpin yang bijaksana dalam menilai persoalan. Seorang Tonowi atau Sonowi itu adalah seorang yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk,  bernilai dan tidak bernilai, yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Itu figur pemimpin dalam konsep berpikirnya orang wolani, mee dan moni. Jadi dia Tonowi dan Sonowi dalam harta, berfikir, bersikap, dan berbicara. Salah satu mimpinya orang mee, moni dan wolani adalah  menjadi Tonowi dan Sonowi baik secara lahiriah maupun rohaniah. Dan Tonowi-Tonowi dan Sonowi inilah yang biasanya menyelesaikan persoalan termasuk konflik sosial yang timbul di kalangan mee, moni dan wolani  sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang yang berasal dari lain suku, termasuk para kaum pendatang. Bilamana dalam kehidupan orang moni, mee dan wolani itu terjadi bentrok misalnya disebabkan oleh  masalah utang piutang, kesalahpahaman, kekeluargaan, perempuan, kekayaan, dan sebagainya akan diselesaikan oleh orang yang dituakan yaitu orang yang dapat berpikir secara baik.  Di setiap kampung, marga, dan komunitas selalu ada  orang yang dituakan dengan ciri seperti itu.
Dalam pelaksanaan  hidup bernegara disebuah kabupaten, parpol biasanya  hanya menjadi sarana rekruitmen politik, untuk menentukan dan mengantar atau dengan kata yang sederhana menjadi perahu bagi para calon kepala daerah, sebuah daerah akan ramai dengan bendera PARPOL hanya saat PEMILU Legislatif dan PILGUB serta PILBUP, padahal sesungguhnya parpol sebenarnya juga harus memainkan fungsinya terlebih-lebih adalah, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat serta menjadi sarana perubahan kebijakan Negara didaerah melalui wakilnya di parlemen. Para kandidat juga kadangkala memerlukan parpol hanya saat menyongsong PILKADA, setelah itu mereka sudah tidak ada hubungan, mungkin disebabkan karena adanya politik dagang partai, sehingga para cabup merasa telah membayar dengan uang kepada mungkin hanya kepada Ketua dan sekretaris atau kepada Ketua saja atau sekretaris saja, dengan koordinasi atau tanpa koordinasi dengan pengurus sehingga tidak ada hutang lagi, yang perlu dibayar lagi kepada para pengurus partai, lalu pertanyaannya, Bagaimana dengan masyarakat yang memberikan suara saat PILEG? sehingga partai bisa mempunyai suara dan kursi di Parlemen sehingga bisa menjadi perahu untuk Calon Kepala Daerah.
PILKADA dilaksanakan bukan mau memilih “tonowi-tonowi baru” yang menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya, melalui cara-cara yang tidak terpuji, yang hanya membuat program kepada masyarakat tidak jalan secara maksimal.
 PILKADA dilaksanakan untuk memilih pemimpin yang mau bekerja untuk Paniai, Dogiyai, Deiyai dan Intan Jaya, hal yang penting dilakukan adalah pendidikan politik kepada masyarakat bukan dengan model “Jual Beli” hal ini hanya akan membuat masyarakat kita menjadi masyarakat pemalas yang hanya hidup menggantungkan diri pada orang lain, pada situasi politik serta pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam PILKADA ini masyarakat haruslah memilih tonowi/sonowi yang benar-benar tonowi, tonowi yang sungguh-sungguh bekerja sesuai dengan aturan ada, tonowi mengutamakan kepentingan umum, tonowi yang tidak melakukan nepotisme, tonowi selalu berbicara yang baik bukan memfitnah orang, tonowi yang selalu berfikir yang terbaik untuk banyak orang, tonowi yang bekerja bukan untuk mengejar pujian, tonowi yang siap bekerja keras bukan hanya berbicara banyak.

PENUTUP
Pilkada adalah pesta untuk memilih pemimpin daerah yang bekerja untuk rakyat, Pilkada adalah sebuah permainan yang hanya akan menghasilkan seorang pemenang, Pilkada diikuti orang-orang yang mampu, orang-orang sudah berpendidikan sehingga sangat diharapkan agar dapat memberikan pendidikan politik bersama PARPOL kepada masyarakat, siapapun dia yang terpilih adalah orang yang sudah dipilih oleh Tuhan dan Alam, jangan diperdebatkan, jangan saling membenci, jangan saling berperang.
Akhirnya dalam adat ada nilai-nilai adat yang baik yaitu saling menghargai (Maa akatee), dalam adat di tiap kampung ada Pemimpin yaitu Tonowi/Sonowi yang lahir dan tumbuh karena prestasi hidupnya yang sungguh-sungguh, dengan strategi hidupnya yang baik bukan dengan tipu-tipu (Puyamana/kigimana), bukan dengan fitnah (Mee ewegai), bukan dengan mencuri (Omaa), bukan dengan mengambil haknya orang kecil (rakyat) (dababageka agiyo yamoti).
 Jabatan Bupati bukan warisan atau Iyoweta seperti Maskawin, babi (ekina epawa), sehingga tidak boleh ada kandidat dan masa pendukungnya,memaksakan kehendaknya, dengan aksi yang berlebihan tetapi mari kami bersama mengikuti PILKADA dengan adat yang benar benar adat, bukan adat yang dibuat-buat seperti; berperang, saling berkelahi, memfitnah, dll.

Konspirasi dalam Kelapa Sawit di Nabire





PEMBAHASAN AMDAL PT.SARIWANA ADHI PERKASA
(Konspirasi dan Pelecehan Pemerintah dan Investor Terhadap Hak Adat)
Oleh
JOHN NR GOBAI
(Sekretaris I Dewan Adat Papua/ Ketua Dewan Adat Paniyai)

Pengantar
Nabire dan Paniai adalah daerah yang lahir dari sebuah kandungan yang sama, daerah yang mempunyai satu mata rumah, Nabire tanpa Paniai bukan Nabire dan Paniai tanpa Nabire adalah bukan Paniai, tulisan ini tulisan saya anak NAPAN (Nabire Paniai) bukan orang dari daerah lain, saya juga punya tanggung jawab untuk bicara untuk masalah ini, tanpa niat apapun tetapi lebih karena melihat penderitaan, tangisan saudara saya; dan juga sebagai salahsatu Pimpinan Dewan Adat Papua, hal ini penting saya katakan diawal untuk menangkis sebuah pandangan yang akan menilai bahwa saya tidak berhak bicara atas persoalan ini.
Menurut Tabloit Jubi, Edisi II,  Sekitar tahun 2007, PT JDI yang telah mengantongi izin hingga 2017 tadi, menggandeng PT.Harvest Raya dari Korea untuk membuka kebun Kelapa Sawit di wilayah ini. Saat itu PT.Harvest Raya ditolak masyarakat karena dianggap akan mengancam hutan dan masa depan anak cucu mereka. Tetapi penolakan menyisakan polemik ada marga yang menolak tetapi ada keluarganya yang menerima. Penolakan itu didasarkan oleh karena pengalaman perkebunan kelapa sawit di Arso dan Lereh yang juga belum mensejahterahkan masyarakat.

Pokok Masalah
Dalam situasi ini PT. Nabire Baru dengan menggunakan pendekatan lain kepada masyarakat setempat dan Tokoh-tokoh Masyarakat lain yang mengatasnamakan masyarakat pemilik tanah, puncak dari pendekatan ini dilakukan Doa Bersama untuk membuka lahan lahan perkebunan kelapa sawit, dalam Doa Adat itu disepakati uang gantirugi lahan sebesar Rp.6 Milyar, yang sebelumnya adalah wilayah HPH milik PT.Jati Darma Indah (JDI) yang memperoleh ijin yang berakhir pada tahun 2017
Diduga juga akibat dari pendekatan yang gencar dimainkan oleh beberapa Tokoh Masyarakat Papua di Nabire (bukan pemilik hak ulayat) terhadap pemilik tanah 
Banyak cara dilakukan untuk mendapatkan lahan kelapa sawit ini, antara lain dengan memberikan harapan-harapan akan hidup yang lebih baik, mengadudomba antara masyarakat, juga dengan terror-teror mental, intimidasi dari oknum aparat yang ditempatkan sebagai security didalam perusahaan sehingga pemilik hak ulayat merasa takut dan tidak akan melawan perusahaan dan melakukan pendekatan jalan mengajak minum minuman keras dan pesta pora, akhirnya lahan HPH Jati Dharma Indah telah berubah menjadi lahan kelapa sawit dari PT Nabire Baru seluas 17.000 Hektar dan PT. Sariwana Adhi Perkasa serta pengambilan kayu dari PT.Sariwana Unggul Mandiri.

Perkebunan Tanpa Amdal
Selama satu tahun belakangan ini, tentang persoalan Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam, atas exploitasi, pembalakan liar dan proses pembiaran yang dilakukan oleh dua perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa bersama PT. Sariwana Unggul Mandiri di atas lahan Adat Masyarakat Pribumi Suku Besar Yerisiam sudah sangat memprihatinkan, kayu, rotan dan mahluk hidup yang ada di atas areal tersebut digusur dan mati tanpa ada pertanggungjawaban. Padahal aktivitas perkebunan tersebut sarat dengan persoalan, mulai sengketa pemilik ulayat antara pihak pro dan kontra  perkebunan kelapa sawit, klaim HPH yang belum usai, dan persoalan ijin Amdal dari BABEDALDA Privinsi Papua. Namun kegiatan aktivitas perusahaan terus dilakukan. Penebangan sudah masuk hingga areal-areal keramat, dusun-dusun sagu dan pinggiran pantai. Ribuan pohon kayu putih dan rotan yang memiliki nilai komersial diterlantarkan dan dikuburkan begitu saja. Sedangkan kayu merbau/kayu besi terus menjadi buruan dan incaran kedua perusahan tersebut.
Amdal sebagai payung/pagar untuk menentukan kelayakan aktivitas sebuah areal kerja investasi. Tidak diterbitkan, dengan alasan kedua perusahan telah melakukan aktivitas pembukaan lahan sebelum adanya sosialisasi dan investigasi amdal di areal oleh bapedalda, sehingga kami tegaskan bahwa PT.Nabire Baru dan PT, Sariwana Adhi Perkasa telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum adanya Sidang AMDAL dan dokumen AMDAL. Dalam banyak hal masyarakat biasanya meminta agar dibuat MoU dulu barulah ditandatangani AMDAL.

Pembahasan AMDAL yang melecehkan
Dalam Harian Cendrawasih Pos, Edisi Sabtu, 12 April 2014, Hal 10 termuat pengumuman BAPESDALH Papua yang isinya meminta saran dan masukan bagi rencana usaha PT.Sariwana Adhi Perkasa,d/a. Menara Global Lt.16. Jln. Jend.Gatot Subroto, Kav.27. Jakarta, 12950. Tlp.021-52892260,52892259 e.mail edis@goodhope-id.com hal ini merupakan sebuah langkah maju tetapi juga sebuah langkah yang gegabah. Masih segar dalam ingatan kita pada tanggal 3 maret 2014, seorang pemuda dituduh kurir TPN/OPM Korban, Titus Money (22 Th) dan Herman Money sehingga mengalami sebuah kekerasan fisik dari Oknum Anggota Brimob yang melakukan pengamanan di lahan kelapa sawit ini, hal ini sangat penting menjadi pegangan untuk mengambil langkah strategis, mereka masyarakat asli tidak mungkin mereka akan pergi ke tempat lain, daerah orang lain, dikhwatirkan stigma ini akan selalu diberikan kepada oknum-okunum masyarakat suku yerisiam, stigma ini juga dikhawatirkan dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi kehadiran Brimob dilahan kelapa sawit, yang secara implicit untuk mempercepat proses pengrusakan lingkungan melalui perkebunan kelapa sawit; Pemerintah Papua dan Nabire tidak mungkin dapat melarang aparat disana sehingga hal ini harus menjadi perhatian, AMDAL penting tetapi keselamatan jiwa pemilik hak ulayat jauh lebih penting, PAD penting namun  kompensasi hak masyarakat adat yang kehilangan lahan berburu, tempat keramat, kebun buah-buahan, burung-burung dan perlindungan tempat keramat jauh lebih penting, pejabat pemerintah punya gaji serta tunjangan lainnya tetapi masyarakat yerisiam hanya akan hidup dari tanah, hutan dan laut yang telah dan akan diambil oleh PT. Sariwana Adhi Perkasa, OTSUS Papua yang digembargemborkan pemerintah provinsi papua termasuk BAPESDLH adalah untuk menghormati Hak  Masyarakat Adat bukan hanya melayani kepentingan Investor (PT.Sariwana Adhi Perkasa). Menanggapi pembahasan amdal, dalam sebuah wawancara 12/4, Kepala Suku Besar Yerisiam mengatakan pekerjaan Bapesdalh provinsi papua, sangat semrawut. Diperlukan adanya sebuah itikat baik semua pihak untuk menghargai pemilik hak ulayat masyarakat adat suku yerisiam.

Penutup
Agar tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat Yerisiam dan Pemda Papua, Pemda Nabire, dan PT.Sariwana Adhi Perkasa serta sesama masyarakat adat maka kami merekomendasikan agar:
1)      Dalam semangat OTSUS Papua, PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa  harus mau  membuka perundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee, untuk membicarakan kompensasi strategis yang
2)      Gubernur Papua, PANGDAM, KAPOLDA Papua, Bupati Nabire, KAPOLRES Nabire agar segera menangguhkan pembahasan dan penandatanganan dokumen AMDAL serta memfasilitasi adanya pertemuan antara perusahaan dengan masyarakat agar dapat dibicarakan tentang kompensasi jangka panjang dan kontinyu yang dapat di tuangkan dalam MoU yang legal;

DPRD Papua Menjadi DPRP (Konsep Ideal DPRrP Menurut UU Otsus Papua)





DARI DPRD PAPUA MENJADI DPRP
(Konsep Ideal Badan Legislatif Papua)

OLEH
JOHN NR GOBAI
KETUA DEWAN ADAT DAERAH PANIYAI/
SEKRETARIS II DEWAN ADAT PAPUA

Pengantar
Jika kita jujur DPRP yang ada saat ini, sesungguhnya adalah DPRD Papua, karena sesuai dengan Pasal 6 UU No 21 Tahun 2001,  DPRP terdiri dari anggota yang dipilih dan diangkat, yang diangkat bukan dari partai politik, tetapi kenyataan kursi itu di ambil oleh partai politik, dengan kata lain Kursi OAP baju Partai, sehingga DPRP bisa disebut DPRP jika terdiri dari dua kelompok anggota yaitu anggota yang dipilih dan diangkat, karena itu tulisan ini saya beri judul Dari DPRD Papua Menjadi DPRP

Rujukan14 Kursi DPRP
Putusan MKRI pada tahun 2010 memutuskan memerintahkann dibuatnya PERDASUS tentang pengisian 11 (sebelas) kursi keanggotaan DPRP yang diangkat, saat itu diperintahkan maka Gubernur Provinsi Papua bersama Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua perlu segera membuat Peraturan Daerah Khusus tentang tata cara pengisian anggota DPRP yang di dalamnya memuat, antara lain, ketentuan tentang penambahan 11 (sebelas) anggota DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali (einmalig) untuk Periode 2009-2014. Sehingga sebenarnya bisa dilakukan pada masa lalu sehingga anggta DPRP jumlahnya adalah 67 Orang, namun hal itu tidak dilakukan, dengan alasan yang tidak jelas. Untuk periode berikutnya (2014-2019) harus dikembalikan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001, yaitu dipilih melalui pemilihan umum dan dengan cara diangkat yang tata cara pengangkatannya diatur dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus);
Manuver LUKMEN adalah manuver Pimpinan Pemerintahan Papua bukan manuver Ketua Partai Demokrat Papua dan Ketua Partai Golkar Papua, Manuver ini adalah  manuver Gubernur Papua sebagai salahsatu Nahkoda Utama Kapal yang namanya UU OTSUS sebuah kunci utama adalah adanya Raperdasus DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme Pengangkatan, manuver ini juga adalah bentuk kesungguhan seorang anak adat/ anak asli papua untuk memberikan ruang bagi orang asli papua dalam rumah politik legislative NKRI, terobosan ini bukti komitmen LUKMEN untuk melaksanakan OTSUS sebagai sebuah regulasi yang perlu ditegakkan pelaksanaannya dalam bingkai NKRI, terobosan ini merupakan cara LUKMEN memberikan kesempatan kepada Orang Asli Papua agar secara maksimal membicarakan kepentingan Orang Asli Papua di panggung politik NKRI.

14 Kursi DPRP Bukan Kursi Pelarian
Saya berharap agar ini bukan kursi pelarian, sehingga yang berhak duduk dalam kursi 14 adalah orang yang bukan menjadi anggota partai politik tertentu atau pernah menjadi Calon Legislatif Pemilu 2014, karena jika ini jadi pelarian maka, gambarannya akan sama saja seperti 11 kursi yang ada sekarang yaitu ada 14 kursi OAP yang diduduki oleh pengurus partai politik nasional, dengan kalimat sederhana Kursi OAP, Baju Partai
Di Papua sampai saat ini penetapan perdasus pun belum dilakukan sehingga dingatkan agar 14 kursi tidak dijadikan pelarian oleh caleg yang gagal dalam pemilu legislative 2014 ini, hal itu diingatkan oleh Wakil Ketua FKMAPB/ Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobai “ Jika pelaksanaan pemilihan 14 kursi tidak bersamaan dengan Pileg 9 April mendatang maka ditakutkan kursi tersebut menjadi peluang pelarian bagi mereka yang tidak lolos dalam pemilihan kursi legislative pada 9 april itu, jangan sampai kejadian pada pileg tahun lalu kembali lagi terulang lagi dimana 11 kursi digunakan untuk mereka yang gagal lolos menjadi anggota legislative artinya orang parpol yang masuk dalam 11 kursi tersebut, (Cepos, 5 Maret 2014)
Raperdasus yang menjadi hak inisiatif DPRP mestinya di bahas kembali dengan OAP karena secara implicit hanya untuk kepentingan pelarian bagi caleg yang berasal dari parpol, sehingga substansi dari UU Otsus tidak akan menjadi kenyataan. Sehingga tidak akan ada perbedaan antara semua kursi yang ada di DPRP, dengan kalimat sederhana Kursi OAP, Baju Partai,  hal itu sangat terlihat dalam raperdasus tentang DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan, dalam pasal 34 huruf huruf j; memiliki komitmen memperjuangkan hak dan kepentingan Orang Asli Papua ( persyaratan yang sangat tidak jelas yang mengkebiri orang lain yang mempunyai pengalaman yang benar bukan memiliki komitmen tetapi memiliki pengalaman selama 5 tahun memperjuangkan atau mendampingi perjauangan hak atau kepentingan OAP. o,yaitu calon harus memiliki pengalaman politik, Pasal 35 Hurf L; Calon harus melampirkan surat keterangan partai atau organisasi politik resmi lainnya. ( Hal ini sangat jelas peluang pelarian bagi calon yang kalah dalam Pileg 2014 untuk menggunakan kursi OAP, sehingga DPRP dan Pemprov secara sistematis melakukan pelanggaran atas konstitusi, sehingga sebaiknya dilakukan perubahan atas raperdasus tersebut jika tidak gubernur mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub)

Penutup
Raperdasus 14 Kursi merupakan suatu keharusan sebagai bentuk Kekhususandalam kerangka, sehingga jangan dipandang dengan pandangan yang miring dll.
Dalam catatan penutup ini saya ingin mengemukakan sebuah gagasan yang perlu dipikirkan semua pihak di Papua, kenyataan di Papua saat ini jumlah kaum migran lebih besar daripada orang asli papua, kenyataan ini perlu di pikirkan secara baik, perlu ada langkah yang tepat, perlu ada kemauan politik untuk melakukan proteksi kepada orang asli, hal ini akan mempengaruhi keputusan politik yang tidak berpihak kepada orang asli. Hal ini Nampak dalam pemilu legislative didaerah yang terbuka seperti Kota Jayapura, Biak, Nabire, Timika,,dll jumlah orang asli akan berkurang, karena itu suku-suku asli akan tersingkir karena itu perlu ada kebijkan pengangkatan legislative bagi suku-suku asli dalam badan legislatif daerah, agar mereka dapat memproteksi kekayaannya melalui keputusan politik daerah. Contoh: Suku Yerisiam di Nabire, Nafri di Kota Jayapura, Suku Komoro dan Amungme di Timika,dll